Libur panjang di akhir pekan ini barangkali bisa jadi kesempatan Anda untuk mengajak putra-putri lebih mengenal sejarah dan budaya yang ada di Jabodetabek. Masih dalam rangka Imlek dan Cap Go Meh, Komunitas Historia Indonesia (KHI) menggelar “Tangerang Heritage Trail” bertema “Menelusuri Sejarah, Menguak Jejak Tionghoa Benteng di Tangerang” pada Sabtu 27 Februari 2010.
Kenapa Tangerang? Menurut Ketua KHI, Asep Kambali, sederhana saja, karena orang di Jakarta mungkin banyak yang belum tahu bahwa ada kantong Pecinan lain di luar Jakarta, salah satunya, Tangerang. “Jadi kita mau ajak orang, siapa aja yang barangkali belum pernah ke Tangerang, ayo kita lihat ke sana. Di Tangerang kan juga ada Pecinan dan menurut saya lebih bagus ya, lebih kuat Pecinannya,” tandasnya. Selain Jakarta, KHI, imbuhnya, akan terus berusaha menggali kekayaan sejarah dan budaya kota lain.
Rute trail Sabtu nanti antara lain Sungai Cisadane, Klenteng Boen San Bio, Perkampungan Sewan Kongsi, Bendungan Pintu Air 10, Pameran Imlek Klenteng Tjong Tek Bio, dan Klenteng Boen Tek Bio. “Kita berangkat naik kereta api dari Stasiun Beos. Kumpul di Taman Fatahillah jam 6 pagi. Dari Beos kita naik KRL Benteng Ekspress turun di Stasiun Tangerang, baru kita mulai jalan di sana. Saya berharap semua peserta tepat waktu karena KRL Benteng Ekspress berangkat tepat waktu. Kita kan perlu registrasi, beli tiket, dll, jadi mohon peserta tepat waktu, ” Asep berpesan, tiket seharga Rp 65.000/orang dan bisa menghubungi no HP 0818 0807 3636.
Sementara itu, menurut salah satu anggota KHI yang juga akan memandu perjalanan, Rinus, ada beberapa versi kisah kedatangan Tionghoa di Tangerang. Satu versi mengatakan, sebutan Cina Benteng tidak lepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun di pusat Kota Tangerang, tepatnya di tepi Sungai Cisadane, pada zaman kolonial Belanda itu sekarang sudah rata dengan tanah. Pada saat itu, banyak orang Tionghoa Tangerang yang kurang mampu, harus tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul istilah "Cina Benteng".
“Versi lain dari kitab Sejarah Sunda, "Tina Layang Parahyang" artinya Catatan dari Parahyangan, yang sudah menyebut daerah muara Sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara Sungai Cisadane pada tahun 1407. Tujuan awalnya Jayakarta,” lanjut Rinus, saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang dengan nama "Boen-Teng". Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, petani, buruh informal atau pencari ikan di pinggir kali.
Di Tangerang, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan sehingga warna kulit mereka terkadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka tak lain adalah “Cina Benteng”. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda, dan Melayu.
Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. Belanda, VOC, yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir), Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.
Beberapa lokasi yang bakal disambangi antara lain, Perkampungan Sewan Kongsi. Kampung ini merupakan salah satu perkampungan Tionghoa Benteng yang masih ada di Tangerang. Asal kata ‘Sewan’ sendiri berasal dari kata ‘Sewaan’ yang diadaptasi sesuai logat masyarakat setempat. Disebut ‘Sewaan’ karena pada zaman kolonial, daerah ini seluruhnya disewakan kepada para tuan tanah, terutama etnis Tionghoa, untuk berkebun. Lokasinya berada di belakang Bendungan Pintu Air 10. Arsitektur rumah di sini masih tradisional.
Lokasi lain adalah Bendungan Pintu Air 10. Itu sebenarnya adalah Bendungan Air Sangego atau Bendungan Pintu Air Pasar Baru di Kecamatan Neglasari. Dibangun pada tahun 1927 dan mulai dioperasikan pada tahun 1932 untuk irigasi.
Klenteng Boen Tek Bio, adalah sasaran lainnya. Klenteng ini berdiri sekitar 1750. Penghuni Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah). PAda awalnya Bio ini hanya berupa tiang bambu dan beratap rumbia, awal abad 19 barulah menjadi kelenteng seperti sekarang ini. Kelenteng inilah yang sejak 1911 menggelar pesta Petjun, lomba balap perahu, di Sungai Cisadane. Kemudian Orba melarang pesta budaya itu. Boen Tek Bio juga punya tradisi mengarak Toapekong, “Gotong Toapekong” dan menggelar wayang langka, Wayang Potehi.
Sumber :
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto, dalam :
http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2010/02/24/08035995/Heritage.Trail.ke.Pecinan.Tangerang
24 Februari 2010